MENJELASKAN AYAT-AYAT SUCI
AL-QUR’AN
TENTANG BERFIKIR DAN ILMU
Muhammad Aziz, SH, CHt., dkk*
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad SAW
diutus oleh Allah SWT sebagai Rasul pada masyarakat yang
terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi identitas masyarakat Arab pada
saat itu. Islam datang dengan membawa cahaya yang menjadi penerang dalam
kegelapan, yang mengubah masyarakat jahilyah menjadi masyarakat yang berilmu
dan beradab. Salah satu pencerahan datang Islam bagi masyarakat itu bahwa Islam
sangat peduli dengan persoalan-persoalan mengenai alam semesta. Bahwasanya
Allah SWT mengingatkan hamba-Nya atas kebesaran-Nya yang mengendalikan malam
dan siang saling bergantian, matahari dan bulan yang saling berputar, atas
bintang-bintang baik yang bergerak maupun yang tetap di sudut-sudut langit yang
bersinar dan bercahaya sebagai petunjuk dalam kegelapan. Semua itu telah
berjalan yang telah ditentukan oleh Allah SWT tidak lebih dan tidak kurang.
Yang demikian itu merupakan suatu tanda bagi orang-orang yang berfikir (QS.
An-Nahl:12).
Karya-karya ulama Islam
sangat mengagumkan dan mempunyai andil besar dalam penelitian, pengamatan, percobaan, dan perhitungan.
Salah satu contoh orang pertama yang menggambarkan anatomi mata dengan sangat
terperinci adalah ahli optic muslim yaitu Ibnu Al Haitsam. Sehingga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa warisan ilmu pengetahuan Islam menjadi sumber
pencerahan Eropa.[1]
Hakekatnya ilmu
pengetahuan untuk mencari kebenaran secara ilmiah dengan berfikir. Akan tetapi
dalam Al-Qur’an ilmu pengetahuan bukan semata-mata untuk mencari kebenaran
ilmiah, melainkan untuk mencari tanda-tanda (isyarah), hikmah dalam ilmu
pengetahuan tersebut. Tidak terelakkan disatu sisi ilmu pengetahuan bebas nilai
(value free), sedangkan ilmu pengetahuan dalam Islam ada nilai ibadah
dalam setiap kegiatan manusia.
MASALAH
Dalam penulisan ini ada
beberapa pokok masalah yang kami bahas diantanya:
- 1. Bagaimana hakekat berfikir menurut Al-Qur’an?
- 2. Bagaimana pandangan Al-Qur’an tentang ilmu?
PEMBAHASAN
A. Berfikir
Perbedaan manusia dengan makhluk lainya adalah manusia
diberi akal oleh Allah SWT untuk berpikir. Sehingga manusia dapat memecahkan
masalah dengan melingkar untuk mewujudkan tujuan dalam berpikir. Islam
memerintahkan supaya umatnya untuk berpikir atas ciptaan Allah SWT. Jika otak
tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, maka keistimewaan manusia dengan sendirinya
akan lenyap dan tidak berarti sama sekali. Tidak ada kemajuan untuk umat
manusia dalam kehidupan.
Menurut Jerome dalam bukunya Filsafat
Ilmu beliau mengatakan “Jaminan pengetahuan ilmiah bukan terletak pada mutu
metodeloginya melainkan terletak pada berkat Allah, itulah yang memastikan
keterpercayaannnya
(realibility).
Yang artinya manusia tidak dapat langsung memasuki alam satu-satunya jalan menuju
pengetahuan ialah melalui pikiran ilahi.”[2]
Dari pendapat di atas persoalan
filsafat dinyatakan kembali sebagai persoalan teologis, pengetahuan segala
sesuatu bersumber dari Allah dan pengetahuan-pengetahuan manusia memiliki
keterbatasan.
Menurut Beerling yang dikutip Ahmad
Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai James mengatakan
“Dunia dibentuk oleh kekuatan yaitu agama dan filsafat.”[3]
Hal ini berkaitan dengan pendapatnya
Said Hawwa dalam bukunya Makrifatullah beliau mengatakan “Ilmu
pengetahuan dan pemikiran merupakan unsur penting untuk membentuk sebuah
pribadi yang benar-benar muslim. Islam mewajibkan ilmu pengetahuan, karena
dengan ilmu pengetahuan bisa diketahui bahwa Islam adalah agama yang benar. Dan
Islam mewajibkan seorang muslim untuk berpikir dan belajar. Orang yang tidak
bisa menyaksikan Allah dengan akalnya setelah mengetahui ayat-ayat(tanda-tanda
kekuasaan-Nya dianggap tidak ada.)”[4]
Menurut Imam Al-Ghazali dalam bukunya
Ihya’ Ulumuddin mengatakan bahwa anjuran untuk berpikir, merenung, memeriksa,
dan mengambil pelajaran dapat diketahui dari ayat-ayat dan kabar-kabar, karena
ia adalah kunci penmbuka cahaya-cahaya dan awal datangnya pertolongan serta
penjaring ilmu.[5]
Berpikirlah agar paham, menurut Ali Bin Abi
Thalib, “Berpikir yang engkau lakukan akan memberikan pemahaman kepadamu dan
memberi pelajaran terhadapmu. Dan barang siapa berpikir sebelum berbuat, akan
selalu benar.” Berpikir sebagai pangkal segala kebaikan sebagaimana Ibnu Qayyim
mengatakan bahwa, “Berpikir akan membuahkan pengetahuan, pengetahuan akan
melahirkan perubahan keadaan hati, perubahan keadaan hati akan melahirkan
kehendak, kehendak akan melahirkan amal perbuatan, jadi berpikir merupakan asas
dan kunci semua kebaikan.[6]
Islam datang untuk membebaskan akal
dari belenggu yang mengikat cara berfikir, tinggalkan sisa-sisa kebekuan otak
sebagaimana kami paparkan beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita
untuk berfikir atas ciptaan Allah SWT. Hanya satu yang dilarang dalam Islam
untuk dipikirkan secara mendalam, yaitu Dzat Allah Ta’ala, sebab Dzat Allah
pasti tidak akan dapat dijangkau oleh otak dan pikiran manusia manapun.
1.
QS. AN-Nahl (16):12
وَسَخَّرَ
لَكُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ وَٱلنُّجُومُ
مُسَخَّرَٰتُۢ بِأَمۡرِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
١٢
Artinya: “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. Dan bintang-bintang dikendalikan dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang mengerti.”
Bahwasanya Allah SWT mengingatkan hamba-Nya atas kebesaran-Nya yang
mengendalikan malam dan siang saling bergantian, matahari dan bulan yang saling
berputar, atas bintang-bintang baik yang bergerak maupun yang tetap di
sudut-sudut langit yang bersinar dan bercahaya sebagai petunjuk dalam
kegelapan. Semua itu telah berjalan yang telah ditentukan oleh Allah SWT tidak
lebih dan tidak kurang. Yang demikian itu merupakan suatu tanda bagi
orang-orang yang berfikir.
2.
QS. Al-Anfal (8):22
۞إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلصُّمُّ ٱلۡبُكۡمُ ٱلَّذِينَ
لَا يَعۡقِلُونَ ٢٢
Artinya: “Sesungguhnya seburuk-buruk binatang menurut Allah ialah
yang tuli dan yang bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran, yakni orang
yang tidak berakal (memahami kebenaran).”
Dalam Tafsir Ruhul Bayan, Ismail Haqqi Al-Buruswi menafsirkan alladzina
la ya’qiluuna ( ٱلَّذِينَ
لَا يَعۡقِلُونَ ) bahwa Allah
menganggap orang-orang yang mempunyai karakteristik demikian seperti binatang
yang paling buruk, sebab mereka telah menghancurkan pembeda dari bintang. Allah
mensifati mereka sebagai orang tidak berakal, karena orang yang bisu dan tuli
apabila akalnya masih maras, mereka akan dapat memahami meski terbatas dengan
jalan isyarat, namum apabila orang itu bisu, tuli, dan tidak berakal, maka
berada pada puncak kekurangan dan keadaan yang sangat buruk.[7]
3.
QS. Al-Jatiyah (45):13
وَسَخَّرَ
لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ١٣
Artinya: “Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh dalam hal yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang
yang berfikir.”
Sungguh Allah SWT telah menggariskan bagi hamba-Nya untuk selalu
bersyukur atas rahmatnya hanya kepada manusialah bumi dan langit seisinya untuk
dikelola dan dimanfaatkan demi kemakmuran manusia itu sendiri. Demikian
tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT bagi orang-orang berfikir.
B. Ilmu
Kata
ilmu dalam berbagai bentuk disebutkan berulang sebanyak 854 kali dalam Al
Qur’an. Ilmu berasal dari ‘ilm, kata jadian dari ‘alima, ya’lamu
menjadi ‘ilmun, makluumun, ‘aalimun. Dalam bahasa arab ‘alima
sebagai kata kerja yang berarti tahu atau mengetahui. Sedangkan k ata ‘Ulama
merupakan jama’ dari kata ‘aalimun yang berarti orang yang mempunyai
ilmu.[8]
Sedangkan dalam bahasa Inggris ilmu biasanya dipadankan dengan kata science,
sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam pokok bahasan ada
cabang-cabang ilmu khusus, diantarnya ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu balaqoh,
ilmu mantiq, ilmu tafsir dan lain sebagainya.
Menurut
J.S. Badudu yang dikutip A. Susanto (2016) bahwa ilmu ada dua pengertinnya: Pertama
ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
sistematis. Contohnya ilmu agama, ilmu bahasa. Kedua ilmu diartikan
sebagai kepandaian atau kesaktian. [9]
Contohnya “sudah lama menuntut ilmu di padepokan Ronggo Lawe.”
Ilmu Allah begitu luas meliputi langit dan bumi, maka Allah
memerintah-kan manusia untuk selalu mencari ilmu pengetahuan untuk menambah
rasa keimanan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menggunakan
kata ilmu untuk ilmu pengetahuan, walau pada dasarnya kedua kata tersebut
memiliki makna yang berbeda secara
prisipil. Ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematik, metodik, ilmiah dan
mencakup kebenaran umum mengenai objek studi. Sedangkan pengetahuan adalah
sesuatu yang menjelaskan tentang sesuatu hal yang diperoleh secara biasa
melalui pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi dan
sebagainya. Jadi pengetahuan mempunyai cakupan yang lebih luas. Ilmu membentuk
daya intelegensi yang melahirkan keterampilan (skill). Sedangkan
pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang melahirkan tingkah laku
kehidupan manusia. Mohammad Hatta menyebut ilmu dan pengetahuan dengan
menggunakan sebutan pengetahuan, karean bagi Hatta (1954:5) antara ilmu dan
pengetahuan adalah sama-sama sebagai pengetahuan. Menurutnya, “pengetahuan
adalah pengetahuan yang didapat daripada pengalaman. Sedangkan ilmu adalah
pengetahuan yang didapat dari jalan keterangan”. [10]
Secara umum semua ilmu adalah mulia namun ilmu yang dinilai sangat
mulia oleh syariat adalah ilmu Nafi’, yaitu ilmu yang bisa mendekatkan diri
manusia pada Allah SWT, menyadarkannya akan segala kekurangannya dan menambah
kema’rifatannya pada Allah SWT. Menurut Imam Khalil dari segi keilmuan manusia terbagi dalam empat
tingkat:
- 1. Alim, yaitu orang yang mengerti agama dan ia sadar bahwa ia mengerti. Sehingga ia mengamalkan dan menyebarkannya.
- 2. Naim (terlelap), yaitu orang yang telah mengerti agama tapi tidak merasa bahwa ia telah mengerti, sehingga belum mau berjuang dengan ilmunya.
- 3. Mustarsyid (pencari petunjuk), yaitu orang yang belum mengerti agama dan ia menyadarinya sehingga terus belajar dan menimba ilmu.
- 4. Jahil (bodoh), yaitu orang yang belum mengerti namun ia tidak sadar bahwa ia belum mengerti. Ada yang menyebut dalam golongan ini disebut Jahil Murokkab.[11]
Terlepas dari pengertian ilmu dan pengetahuan tersebut kita sebagai
manusia diperintahkan untuk terus mencari dan menggali ilmu pengetahuan agar
dapat memaknai tujuan penciptaan kita sebagai makhluk Allah. Allah SWT
mencintai orang-orang yang mencari ilmu bahkan Allah meninggikan mereka dari
yang lainnya. Selain itu ada beberapa ayat Al Qur’an yang menyuruh manusia
untuk mencari ilmu melalui proses berfikir yang dengan ilmu tersebut dapat
menambah keimanan mereka kepada Allah SWT.
Islam sangat menghargai ilmu dan diperintahkan untuk sekuat tenaga
menuntut ilmu sepanjang hayat. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Menuntut ilmu
adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimat.” Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat
Mujadalah:11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
1.
QS. Mujadalah (58):11
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ
يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ
بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١
Artinya: “Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Imam Ibnu Jarir mengatakan bahwa Qatadah telah menceritakan bahwa
kaum muslimin apabila melihat seseorang datang kepada mereka (pada saat itu
sedang berada di hadapan Nabi Shalallahu’alaiwasaalam) dengan menghadapkan
diri, mereka merapat tempat duduknya di hadapan Rasulullah Shalallahu’alai-wasaalam.
Sedangkan Imam Ibu Hatim mengemukakan bawah surat Al-Mujadalah:11 diturunkan
pada hari jum’at, pada saat itu datang golongan orang-orang yang pernah ikut
Perang Badar, akan tetapi tempat duduk yang ada sangat terbatas dan sempit, dan
mereka yang hadir tidak mau melapangkan tempat duduknya buat orang-orang yang
baru datang. Akhirnya orang-orang yang baru datang itu berdiri. Lalu Rasulullah
menyuruh berdiri beberapa orang yang jumlah sama dengan mereka, kemudian
Rasulullah mempersilakan ahli Badar yang baru datang untuk menempati tempat
duduk mereka yang suruh berdiri. Maka orang-orang yang disuruh berdiri merasa
tidak senang,sehingga turunlah ayat tersebut.[12]
2.
QS. Faatir (35):28
وَمِنَ
ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ مُخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَۗ إِنَّمَا
يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
٢٨
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Ulama dalam Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
ayat tersebut berbicara tentang fenomena alam dan sosial. Ilmuwan sosial dan alam
dituntut agar mewarnai ilmu mereka dengan ilmu spiritual dan dalam penerapannya
agar selalu mengindahkan nilai-nilai tersebut. Dengan mendekatkan diri
kepada-Nya serta merindukan pertemuan dengan-Nya.[13]
Sedangkan Ulama menurut Tafsir Departemen Agama RI adalah orang-orang yang
mengetahui ilmu kebesaran dan kekuasaan Alloh SWT.[14]
3.
QS. Thaaha (20):114
فَتَعَٰلَى
ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۗ وَلَا تَعۡجَلۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مِن قَبۡلِ أَن
يُقۡضَىٰٓ إِلَيۡكَ وَحۡيُهُۥۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِي عِلۡمٗا ١١٤
Artinya: “Maka Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan
janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa membaca Al-Qur´an sebelum diselesai diwahyukan
kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan"
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Nabi Muhammad
SAW dilarang oleh Allah menirukan bacaan malaikat Jibril, kalimat demi kalimat
sebelum malaikat Jibril selesai membacakannya, agar Nabi Muhammad SAW menghafal
dan memahami betul-betul ayat yang diturunkannya.[15]
Sedang menurut Sayyid Quthb
dalam bukunya Tafsir Fi Jilalil Qur’an mengatakan dalam ayat ini mengatakan
“Maka maha tinggi Allah tidak tergesa-gesa mengucapkan Al-Qur’an, Al-Qur’an
diturunkan untuk hikmah tertentu tidak mungkin Allah menyia-nyiakannya. Yang
seharusnya dilakukan adalah berdo’a kepada tuhanmu agar dia menambahkan ilmu
kepadamu dan engkau tenang dengan apa yang diberikan Allah kepadamu. Kamu
jangan khawatir Al-Qur’an itu pergi, ilmu itu tiada lain adalah yang diajarkan
Allah kepadanya, yang bermanfaat pasti akan tetap dan tidak akan hilang. Dia
akan berbuah dan tidak akan gosong.”[16]
Berbahagialah bagi orang-orang yang diberi
kesempatan untuk mencari dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan
akan menembus kegelapan, menyinari jiwa setiap manusia dengan sifat ingin
mengetahui hal-hal baru. Orang yang berilmu pengetahuan dan tidak berilmu
pengetahuan berbeda dihadapan Allah SWT apalagi dihadapan manusia yang
sama-sama hamba Allah. Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk terus
berdo’a, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
KESIMPULAN
Bahwa Islam tidak membelenggu umatnya untuk berfikir,
bahkan Allah SWT menyuruh untuk memikirkan kekayaan dan keindahan alam semesta
ciptaan Ilahi Rabbi. Yang
perlu diingat Islam melarang memikirkan Dzat Allah secara mendalam, berfikirlah
akan ciptaan Allah.
Dengan
berfikir akan kenal lebih mendalam atas kebesaran ciptaan Allah, kesempurnaan
Ilmu dan Kodrat-Nya, kasih sayang dan kekuasaan-Nya agar menjadi manusia
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah:11)
Daftar
Pustaka
Hamdani Ihsan
& A. Fuad Ihsan.2007 Filsafat Pendidikan Islam.Pustaka Setia.Bandung
Cet.III
Said Hawwa.
2008.Makrifatullah, Izinkan Aku Mengenal-Mu Ya Allah!.Aura Pustaka.Jakarta.
Sayyid Quthb.2004.Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan Al Qur’an;Jilid 9.Gema Insani.Jakarta.
Muchlis M.
Hanafi, dkk.2013. Ensiklopedia Pengetahuan Al Qur’an dan hadits Jilid 4. Kamil
Pustaka.Yogyakarta
[1] Jurnal Humaniora Vo. 2 No. 2 Oktober 2011, hlm 1340
[2] Jerome R. Raverz,
Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasannya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2009, hlm. 99
[3]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai James.Rosda Karya, Bandung:
1997. hlm. 17
[5] Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Pustaka Amani, Jakarta,
1995, hlm. 322
[6] Muchlis M. Hanafi, dkk. Ensiklopedia
Pengetahuan Al Qur’an dan hadits,Jilid 4. Kamil Pustaka.2013.Yogyakarta,
hlm. 142
[8]Muchlis M. Hanafi, dkk. Ensiklopedia Pengetahuan
Al Qur’an dan hadits,Jilid 4. Kamil Pustaka.2013.Yogyakarta, hlm. 129.
[9] A. Susanto,Filsafat Ilmu,Bumi Aksara,2016, hlm. 44.
[11] Shobun Niam Bin Maulana Al Tarobani, Zadul Muta’allim Pengantar
Memahami Nadzhom Ta’limul Muta’alim,2014, hlm. 9-10.
[12] Imam Jalaluddin Al-Mahalli & Imam Jalaluddin As-Suyuti, “Tafsir
Jalalain, Berikut Asbabun Nuzul Ayat,” Jilid 2, Sinar Baru Algensindo,
2008, hlm 1049-1050.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Volume 11, 2002,
hlm 62
[14] Terjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia
[15] Al-Qur’anul Kariim, Terjemah Tafsir Perkata, Syaamil Al-Qur’an,
2010
[16] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Jilalil Qur’an jilid 8,Gema
Insani. Depok h. 31
*)Mahasiswa Program Studi Magister Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan, SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PROF. DR HAMKA JAKARTA
*)Mahasiswa Program Studi Magister Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan, SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PROF. DR HAMKA JAKARTA