ONTOLOGI
DAN EPISTEMOLOGI
Abstrak
Filsafat ilmu mempuyai tiga landasan utama yaitu ontologi,
epistimologi, dan aksiologi. Ontologi mengkaji tentang apa, epistimologi
mengkaji tentang bagaimana, dan aksiologi mengkaji tentang untuk apa.
Pembahasan makalah ini lebih fokus tentang ontologi dan epsitimologi. Makalah
ini betujuan mengetahui apa hakekat yang ada dan bagaimana cara mengetahui
hakekat terjadinya dan kebenaran ilmu.
Kata Kunci: filsafat ilmu, ontologi, epsitimologi, aksiologi
A.
PENDAHULUAN
Filsafat
memberikan asumsi-asumsi[1]
dasar bagi setiap cabang ilmu
pengetahuan. Demikian pula halnya dengan pendidikan. Ketika filsafat membahas tentang ilmu alam,
maka diperoleh filsafat ilmu alam. Ketika filsafat mempertanyakan konsep dasar
dari hukum, maka terciptalah filsafat hukum, dan ketika filsafat mengkaji
masalah-masalah dasar pendidikan, maka terciptalah cabang filsafat yang bernama
filsafat pendidikan (Kneller, 1971: 4)
Jadi, setiap bidang ilmu mempunyai landasan-landasan filsafat
masing-masing. Unsur-unsur esensial
dalam landasan filsafat ilmu ada tiga yang utama, yaitu yaitu landasan ontologis, landasan
epistemologis, dan landasan aksiologis.
B. ONTOLOGI
2.1. Pengertian
Istilah ontologi (ontology) berasal dari bahasa Yunani; on,ontos berarti ada, keberadaan dan logos ilmu
pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian ontologi merupakan ilmu pengetahuan
atau ajaran tentang yang ada.[2] Ontologi
merupakan cabang ilmu hakekat yang membicarakan hakekat sesuatu yang ada.
Sering ontologi dikaitkan dengan metafisika[3].
Telaah ontologi akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang: apakah obyek ilmu
yang akan ditelaah, bagaimana wujud hakiki obyek tersebut, dan bagaimana
hubungan antara obyek dan daya tangkap manusia yang dapat menghasilkan
pengetahuan. Esensi dari ontologi bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang muncul
dari ketiadaan.[4]
2.2. Obyek
Obyek telaah ontologi hakekat yang ada. Ontologi banyak digunakan
ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu, yang tidak terikat
oleh satu perwujudan tertentu, yakni membahasa tentang yang ada secara
universal[5],
menampilkan pemikiran semesta universal. Obyek formal ontologi adalah hakekat
seluruh realitas. Sehingga dalam pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam
jumlah, sedangkan pendekatan kualitatif, realitas akan tampil menjadi
aliran-aliran materialism, idealisme, naturalism, atau hylomorphisme.[6] Ontologi
ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara metodis
(menggunakan cara ilmiah), sistematis (saling berkaitan satu sama lain secara
teratur dan menyeluruh), koheren (unsur-unsurnya harus bertautan, tidak
mengandung uraian yang bertentangan), rasional (berdasarkan kaidah berfikir
yang benar/logis), komprehensif ( melihat obyek yang tidak hanya dari satu sisi
atau sudut pandang, tetapi secara multidimensional/ secara
kesuluruhan/holistic).
2.3. Aliran-aliran Ontologi
2.3.1.
Monoteisme;
paham yang menganggap bahwa hakekat yang asal dari seluruh itu hanya satu,
tidak mungkin dua. Sumber asal haruslah satu baik berupa materi maupun rohani.
Monoteisme terbagi menjadi dua aliran: 1. Materialistik; sumber yang
asal itu materi, bukan rohani, sering disebut naturalisme. Contah bahwa zat
mati itu kenyataan dan fakta. 2. Idealisme
atau spiritualisme; hakekat kenyataan yang beraneka ragam berasal dari roh
(sukma) yang tidak berbentuk dan menempati ruang, materi dan zat hanyalah suatu
jenis penjelmaan rohani.
2.3.2.
Dualisme;
memandang bahwa hakekat itu ada dua. Berarti bahwa benda terdiri dari dua macam
hakekat sebagai sumber asal yaitu hakekat materi dan hakekat rohani, benda dan
roh, jasad dan spirit, materi bukan muncul dari roh dan roh bukan muncul dari
benda. Keduanya berdiri sendiri, sama azali dan abadi. Contoh hakekat dalam
diri manusia.
2.3.3.
Pluralisme;
memandang bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur dan entitas. Anaxahoras dan Empedocles menyatakan
bahwa substansi yang ada terbentuk terdiri atas empat unsur yaitu tanah, air,
api, dan udara.
2.3.4.
Nihilisme; nothing
atau tidak ada. Gorgias (360-483 SM) mempunyai tiga pandangan tentang realitas.
Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis, realitas itu sebenarnya tidak ada.
Kedua, bila sesuatu tidak ada, ia tidak dapat diketahui, pengindaraan tidak
dapat dipercaya hanya sebagai ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
diketahui, ia tidak dapat dibertahukan kepada orang lain.
2.3.5.
Agnotisisme;
pengingkaran bahwa manusia tidak sanggup mengetahui hakekat benda, baik hakekat
materi maupun hakekat rohani.
2.4. Perbedaan Ilmu, Agama , dan Seni Ditinjau dari Ontologi
Ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui manusia baik seni maupun agama. Sedangkan
agama memasuki wilayah transendental yang berada diluar pengamanan manusia.
Sebagai contoh, “apakah yang akan terjadi setelah manusia mati?” ini bukan
wilayah ilmu untuk menjawab, akan tetapi agama yang menjawab. Seni pada sisi
lain sebagi pengetahuan, karena mencoba untuk mendeskripsikan sebuah gejala dengan
sepenuhnya lewat berbagai kemampuan manusia untuk menangkapkan seperti pikiran,
emosi, dan pancaindera. Sedangkan ilmu mengembangkan model yang sederhana
secara empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi variabel terikat dalam
sebuah hubungan yang terikat. Sebuah
karya seni yang baik bisa mempengaruhi sikap dan perilaku manusia, seni
mempunyai peranan penting dalam pendirikan moral dan budi pekerti suatu bangsa. [7]
Jujun S.
Suriasumantri menerangkan lebih lanjut bahwa ilmu mencoba mencarikan penjelasan
mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Seperti
lirik lagi Ebit G. Ade; “ ….. kepada angin, kepada awan, dan rumput yang
bergoyang.” Lirik tersebut mengandung makna yang sangat dalam yaitu kita untuk
bertanya kepada angin, kepada awan dan rumput yang bergoyang; untuk mengkaji
ayat-ayat kauniyah dan kauliyah.[8]
2.5. Pandangan Ontologi
Berdasarkan
perbedaan antara ilmu, agama,dan seni yang diuraikan di atas bahwa antara
filsafat, ilmu, dan agama memiliki
tujuan yang sama untuk mencari kebenaran. Dalam mencari kebenaran pada tataran
filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama yaitu akal dan rasio. Keterbatasan
manusia akal manusia untuk menjelajah tentang ontologi atau metafisik, maka
kebenaran filsafat dan ilmu merupakan kebenaran relatif. Sedangkan agama
bersumber dari wahyu Tuhan, maka kebenaranya absolut atau mutlak.
Dilihat dari
obyek ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), sedangkan obyek
filsafat jangkau kajian lebih luas yaitu wilayah fisik maupun metafisik (alam,
manusia, dan Tuhan) dengan dasar rasional spekulatif, sehingga kebenaran tidak
absolute mutlak. Nah ranah Agama yang kebenarannya absolute mutlah karena
berdasarkan wahyu Tuhan yang diimani.
Hakikat ilmu
dalam Islam, ada tiga sumber ilmu yang diyakini dan dipegangi umat Islam,
yakni: sumber ilmu yang berasal dengan ayat-ayat qauliyyah (wahyu
Tuhan); sumber ilmu yang terkait dengan ayat-ayat kauniyyah (alam
semesta); dan sumber ilmu yang berhubungan dengan ayat-ayat insâniyyah
(diri manusia).[9]
C. EPISTEMOLOGI
3.1. Pengertian
Epistemologi
adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji segala usaha yang dapat dilakukan
untuk mencari jawaban atas kebenaran yang hakiki. Epistemologi akan terus
mencari dan mengkaji hingga pada batas yang tidak dapat dikaji lagi. Batasan
dari epistemologi adalah batasan dari pola pikir manusia hingga pada akhirnya
kebenaran sejati hanya bermuara pada kebenaran milik Tuhan semata. Epistemologi
berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti
pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian,atau ulasan. Karena
berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan, lebih tepat apabila logos
diterjemahkan dalam arti teori. Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai
teori tentang pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory
of knowledge.[10]
Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemology. Pertama
idealisme atau yang lebih dikenal dengan sebutan rasionalisme dan yang kedua
adalah realisme atau yang lebih dikenal dengan sebutan empirisme.
a.
Idealisme/rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan.
b.
Realisme/empirisme
Empirisme
adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan
memilih bukti empiris.[11]
Subyek
epistimologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dapam pengertian khusus.
Terdapat empat persoalan dasar dalam bidang epistimologi yaitu:
1.
Apakah sumber pengetahuan itu? Dari mana pengetahuan yang benar itu
datang? Dan bagaimana kita dapat mengetahuinya? (origin).
2.
Apakah watak dari pengetahuan?
3.
Adakah dunia riil di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengetahui?
Ini semua adalah problema penampilan (appearance) terhadap realitas.
4.
Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana membedakan
antara kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problema mencoba kebenaran (verification).[12]
Mengenai masalah dasar atau sumber pengetahuan dijawab oleh aliran
rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Adapun masalah batas pengetahuan yaitu
mengenai dapat/tidak dapat mencapai kebenaran mutlak? Dijawab oleh aliran
dogmatisme dan skeptisme. Aliran dogmatisme berpendapat kebenaran mutlak dapat
dicapai. Artinya, kebenaran pengetahuan yang sempurna dan abadi dapat dicapai
melalui ilmu. Sebaliknya aliran skeptis berpendapat bahwa orang tidak dapat
mencapai pengetahuan yang benar karena terbatas pada akal yang terus berubah
terus-menerus dari generasi ke generasi. Sedangkan masalah objek pengetahuan
dijawab oleh idealisme dan realisme.[13]
3.2. Tahapan Epistimologi
John Hosper dan Knight (1982) meyakini bahwa di dalam mengetahui
memerlukan alat, yaitu pengalaman indera, (sense of experience), nalar (reason),
wahyu (revelation), otoritas (autority), instuisi (Instuition)
dan keyakinan (faith). Bagaimana cara memperoleh pengetahuan, itulah
yang menjadi bagian dari jawaban tahapan epistimologi, jika dianalogikan
seperti seseorang yang bertanya bagaimana cara membuat kue nastar. Jawabannya
kue nastar dibuat dengan berbagai tahap, bukan kepada bahan yang menjadi unsur
kue akan tetapi lebih kepada cara/proses bagaimana kue dibuat. Penjelasan
tahapan epistimologi membahas bagaimana cara memperoleh pengetahuan.[14]
Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah, Van Peuren membagi
perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni:[15]
1.
Tahap mistis; sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan ghoib di sekitarnya.
2.
Tahap ontologi; sikap manusia yang tidak lagi merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan ghoib dan bersikap mengambil jarak dari obyek
di sekitarnya serta melakukan penelaahan-penelaahan terhadap obyek tersebut.
3.
Tahap fungsional; sikap manusia yang bukan saja merasa telah
terbebas dari kepungan kekuatan ghoib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan
penelahaan terhadap obyek di sekitarnya.
3.3. Aliran-Aliran Epistimologi
Secara garis besar aliran pokok dalam epistimologi terdapat dua
aliran yaitu rasionalisme dan empirisme sebagaiman telah dijelaskan pembahasan
di atas yang kemudian menghasilkan isme-isme lainnya.
1.
Empirisisme. Tokoh
aliran empirisisme adalah John Locke. Beliau mengemukakan bahwa manusia itu
pada mula kosong dari pengetahuan, dari pengalamanlah ia memperoleh pengetahuan.
2.
Rasionalisme. Tokoh
aliran rasionalisme adalah Rene Descrates; Pengetahuan di dapat berdasarkan
melalui akal, kebenaran suatu pengetahuan ditentukan akal.
3.
Positivisme.
Tokoh aliran positivisme adalah August Comte; Pengetahuan didapat dengan cara
penyeimbang pertentangan antara aliran empirisme dan rasionalisme dengan cara
memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
4.
Fenomenalisme.Tokoh
aliran fenomenalisme adalah Immanuel
Kant; bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan menghubungkan kategori-kategori
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Kant
berpendapat dengan pahamnya bahwa pengetahuan itu terdiri dari empat macam,
yaitu:
a)
Yang analitis a priori (pengetahuan hasil analisis yang tidak
tergantung pada adanya pengalaman atau yang ada sebelum pengalaman)
b)
Yang sintesis a priori (pengetahuan hasil oleh penyelidikan akal
terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsurr yang
tidak saling bertumpu).
c)
Yang analistis a posteriori (pengetahuan hasil analisis yang
diperoleh setelah pengalaman)
d)
Yang sintesis a posteriori (pengetahuan yang diperoleh setelah
pengalaman atau pengetahuan empirisme yang lazim.)
5.
Institusionalisme.
Tokoh aliran institusionalisme adalah Henri Bergson. Henri berpendapat bahwa Pengetahuan
yang diperoleh dengan jalan menggunakan intuisi artinya melukiskan suatu
kejadian, tetapi tidak pernah mengenai kejadian itu seluruhnya.[16]
6.
Realialisme. Tokoh
aliran realisme adalah Aristoteles. Menurut Aristoteles realitas berada dalam
benda-benda konkrit atau dalam proses perkembangan. Bentuk/ide/prinsip
keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan.[17]
7.
Skeptisisme.
Tokoh aliran skeptisisme adalah Rene Decrates. Rene menyatakan bahwa indra
adalah bersifat menipu atau menyesatkan.[18]
8.
Pragmatisme.
Salah satu tokohnya adalah C.S. Piere. Piere menyatakan bahwa yang terpenting
adalah manfaat apa yang dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana.[19]
3.4. Ciri Epistemologi
Dalam praktik pencarian pembenaran ilmiah sudah memperlihatkan
cir-ciri penelusuran filosofi yaitu menyeluruh (holistic), mengakar (radical),
meragukan (skeptic). Mengacu pada pengetahuan bahwa epistimologi juga
biasa disebut teori pengetahuan maka memiliki ciri dasar pembenaran, semantik
dan sistematis, intersubjektivitas.[20]
1.
Dasar pembenaran; Dasar
pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan
derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus dirasakan atas pemahaman
apriori yang juga didasarkan atas hasil kajian empiris. pembenaran yang sudah diuji melalui metode
ilmiah.
2.
Sistemik; Pengetahuan
ilmiah harus bersifat sistemik maksudnya terdapat sistem di dalam susunan suatu
pengetahuan ilmiah(produk) dan di dalam cara memperoleh pengetahuan ilmiah
itu(proses, metode).
3.
Intersubjektif; Intersubjektif
menunjukkan pengetahuan yang telah diperoleh seorang subjek harus mengalami
verifikasi oleh subjek-subjek lain supaya pengetahuan itu lebih terjamin
keabsahan atau kebenarannya
3.5. Aspek epistimologi
Dalam menelusuri kebenaran empirik atau kebenaran ilmiah tidak
mengesampingkan kebenaran lainnya.[21]
a.
Paham koherensi/konsistensi; bahwa kebenaran adalah apabila ada
konsistensi dari arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau
lebih logika.
b.
Paham korespondensi; bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara
pikiran dan kenyataan dalam teori.
c.
Paham empiris; kebenaran yang melandasi pekerjaan ilmuan dalam
melakukan penelitian.
d.
Paham pragmatisme; bahwa kebenaran dapat diukur dari kegunaan,
dapat dikerjakan, dan memuaskan.
3.6. Pembahasan epistimologi
Jujun
menyatakan bahwa epistimologi adalah landasan kefilsafatan yang berkaitan
dengan proses penemuan dan penyusunan pengetahuan. epistimologi ilmu adalah
bagian dari filsafat ilmu yang membahas proses dan penyusunan pengetahuan
ilmiah.[22] Epistimologi
penemuan teori baru adalah prosedur yang menggabungkan berpikir rasional dan
pengamatan empiris dengan jembatan berupa hipotesis (logic-hypothetico-verifikatif)
atau produser yang dilakukan melalui metode ilmiah untuk menemukan teori baru. Epistimologi
pemecahan masalah adalah prosedur penelitian yang melakukan penalaran deduksi
dalam pengajuan hipotesis seperti yang dilakukuan dalam epistimologi penemuan
teori baru. Epistimologi penemuan ilmiah adalah prosedur yang mendahulukan
konteks penemuan yang diikuti oleh konteks justifikasi artinya mendahulukan
kesimpulan yang ditarik dari pengumpulan data dan selanjutnya dibahas untuk
memberi justifikasi terhadap penemuan empiris tersebut. [23]
3.7. Dimensi epistimologi
Pengetahuan manusia diperoleh dengan akal, indra dan lain-lain
mempunyai metode sendiri dalam teori pengetahuan sebagai berikut:[24]
1.
Metode induktif; metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan
hasil observasi dengan pernyataan lebih umum.
2.
Metode deduktif; metode ini menyimpulkan bahwa data-data empiris
diolah lebih lanjut dengan sistem yang runtut.
3.
Metode positivism; metode yang berpangkal pada apa yang telah
diketahui, faktual, dan positif.
4.
Metode kontemplatif; karena manusia keterbasan akal dan indra untuk
memperoleh pengetahuan sehingga obyek yang dihasilkanpun berbeda-beda harus
dikembangkan dengan intuisi[25].
5.
Metode dialektis; metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat.
6.
Metode analis sejarah; untuk mengurai sumber kajian epistimologi
dan perubahan yang terjadi sepanjang sejarah.
D. AKSIOLOGI
Aksiologi adalah teori tentang nilai. Maksudnya nilai adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagi pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Aksiologi mengacu pada etika[26]
dan estetika[27].
Dengan kata lain aksiologi merupakan ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dai sudut pangan kefilsafatan di
dalam penerapan ilmu ke dapal praktis.[28]
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa
apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai
moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama,
bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi
ilmuwan yang baik atau belum.
E. KESIMPULAN
Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang
spesifik mengenai apa ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan;
ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait
dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan
epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan
ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi
terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang
didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus saling terkait.
Daftar
Pustaka
Biyanto.2015. Filsafat Ilmu dan Ilmu
Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat
Ilmu. Bogor: IPB Press.
Susanto. 2013. Filsafat
Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jujun, Suriasumantri.
2013. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cet. 24. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Blikololong. ----. J.B.,Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar.
Jakarta: Universitas Gunadarma.
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III
[1] Asumsi artinya dugaan dasar atau landasan berpikir, KBBI
[2] Susanto. Hlm.90
[3] Tafsiran yang paling pertama diberikan manusia terhadap alam ini
bahwa wujud-wujud yang bersifat ghaib berersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
disbandingkan dengan alam nyata (Juju S Suriasumantri, 2013, hlm.64)
[4] Gaarder, Joestin. 2006. Dunia Sophie. Bandung: Mizan Pustaka. Hlm.
44
[5] Universal artinya muatan kebenarannya sampati tingkat umum yang
berlaku dimana saja)
[6] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 83
[7] Jujun S. Suriasumantri, 2013, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Cet. 24,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hlm.104-105
[8] Ibid, hlm. 109
[9] Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al
Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi
atas segala sesuatu. QS. Fushshilat (41): 53
[10] Dedi Supriyadi.2010. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka
Setia. Hlm. 97
[11] Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.Jakarta: Bumi Aksara.
Hlm. 106
[12] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 94
[13] Susanto. 2013. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Bumi Aksara: Jakarta. Hlm. 138
[14] Ibid. Susanto. Hlm. 137
[15] Jujun S. Suriasumantri, 2013, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Cet. 24,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hlm.122
[16] Ibid. Susanto. Hlm. 142
[17] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 98
[18] Ibid. Suadi. Hlm. 99
[19] Ibid. Suadi. Hlm. 99
[20] Op. Cit. Susanto. Hlm. 106-107
[21] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm.44
[22] Jujun S. Suriasumantri, 2013, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Cet. 24,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hlm.283
[23] Ibid. Jujun. Hlm 339
[24] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm.
99-104
[25] Intuisi adalah bisikan hati
[26] Etika adalah sesuai dng asas
perilaku yg disepakati secara umum. KBBI
[27] Estetika adalah ilmu keindahan. KBBI
[28] Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. IPB Press: Bogor. Hlm. 116